Bismillah.
Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak keturunan Adam pasti banyak melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah yang senantiasa bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan lain-lain, dihasankan al-Albani)
Tidaklah diragukan bahwa taubat merupakan jalan kebaikan. Allah berfirman (yang artinya), “Maka apabila mereka mau bertaubat maka hal itu menjadi kebaikan bagi mereka…” (at-Taubah : 74)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang beriman, mudah-mudahan kalian beruntung.” (an-Nur : 31). Hal ini menunjukkan bahwa taubat merupakan kewajiban atas setiap individu muslim.
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, “Umat ini telah sepakat bahwa taubat wajib bagi seluruh kaum beriman.” Dengan demikian meninggalkan taubat merupakan perbuatan dosa. Sebagaimana menunda-nunda taubat juga dosa.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang berada di bawah gunung. Dia takut kalau-kalau gunung itu runtuh menimpanya.”
Iman menjadi bertambah apabila seorang muslim melakukan ketaatan, dan menjadi berkurang apabila dia melakukan maksiat. Semakin besar maksiat yang dilakukan maka semakin parah pula merosotnya iman. Dalam menyikapi dosa, para ulama kita mengingatkan bahwa, “Tidak ada dosa kecil apabila dikerjakan secara terus-menerus. Dan tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan istighfar/taubat.”
Hal ini memberikan pelajaran bahwa seorang muslim harus memiliki rasa takut dan harap. Takut kepada Allah akan hukuman-Nya, dan berharap kepada Allah akan ampunan dan rahmat-Nya. Dengan rasa takut kepada Allah maka ia akan meninggalkan maksiat dan bertaubat. Dengan rasa harap kepada Allah maka ia akan melakukan amal salih dan pengorbanan di jalan Allah. Dengan harapan itu pula dia tidak berputus asa dari rahmat Allah, karena pintu taubat selalu terbuka selama matahari belum terbit dari arah barat dan selama nyawa belum berada di tenggorokan.
Diantara hikmah ditakdirkannya dosa dilakukan oleh manusia adalah agar dia tunduk dan merendah di hadapan Allah. Supaya dia bersih dari perasaan ujub dan bangga diri. Dengan begitu dia akan beribadah kepada Allah dengan penuh perendahan diri dan ketundukan. Agar dia menyadari bahwa tidak ada kebaikan yang mampu dia raih kecuali itu dengan pertolongan dan taufik dari Allah kepada dirinya.
Taubat pula yang memuliakan Nabi Adam ‘alaihis salam beserta istrinya. Taubat pula yang memuliakan Ka’ab bin Malik beserta 2 orang temannya radhiyallahu’anhum. Taubat pula yang mengangkat seorang Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah dari lembah kejahatan menuju ketakwaan.
Para ulama salaf telah memberikan teladan kepada kita bagaimana semestinya seorang muslim menilai dirinya; bahwa dirinya penuh kekurangan, dosa dan kesalahan. Tidak menganggap dirinya suci di hadapan Allah. Oleh sebab itu sebagian mereka mengatakan, “Seandainya dosa-dosa itu menimbulkan bau tidak enak niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk bersamaku.”
Tidak kurang setiap kali setelah sholat kita diajari untuk beristighfar. Begitu pula setiap kali selesai bermajelis kita membaca doa kaffaratul majelis yang di dalamnya juga terkandung permohonan ampun dan bertaubat kepada Allah. Begitu pula setelah keluar dari kamar mandi atau wc kita dianjurkan untuk membaca doa ampunan ‘ghufroonaka’ yang artinya, “Kami mohon ampunan-Mu, Ya Allah.”
Ini semuanya mengandung ibrah dan nasihat bahwa tidak sepantasnya seorang muslim berbangga diri dan merasa hebat dengan amal dan prestasinya. Toh itu semua merupakan karunia dari Allah kepada hamba.
Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika setelah sekian lama melalui perjuangan dakwah tiada henti dan pengorbanan demi membela tauhid dan iman Allah memerintahkan kepadanya (yang artinya), “…dan apabila kamu telah melihat manusia telah masuk ke dalam agama Allah ini secara berbondong-bondong maka sucikanlah [Allah] dengan senantiasa memuji Rabb-mu dan mintalah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia senantiasa menerima taubat.” (an-Nashr : 2-3)
Setelah turunnya ayat itu maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperbanyak bacaan ketika ruku’ dan sujud dengan doa yang berbunyi ‘subhanakallahumma rabbana wa bihamdika allahummaghfirli’ yang artinya, “Mahasuci Engkau ya Allah Rabb kami, dan karena memuji-Mu -aku bertasbih-, ya Allah ampunilah aku.” dalam rangka menjalankan perintah al-Qur’an (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah teladan manusia terbaik. Sudahkah kita menghayati apa yang kita baca? Ataukah selama ini gerakan sholat kita penuh dengan kelalaian? Semoga Allah mengampuni dosa kami dan anda sekalian.
- at-Taubah an-Nashuh karya Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah
- Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah